Politik    Sosial    Budaya    Ekonomi    Wisata    Hiburan    Sepakbola    Kuliner    Film   
Home » » Kondisi Lingkungan Jakarta Memang Sudah Memburuk Sejak 1733

Kondisi Lingkungan Jakarta Memang Sudah Memburuk Sejak 1733

Posted by Kabar Berita Rakyat Indonesia (KBRI) on Sabtu, 03 Agustus 2019


Pada bulan Juli tahun ini, halaman muda koran dan berita-berita utama televisi menampilkan laporan masalah lingkungan di Jakarta. Laporan lembaga survei Amerika Serikat Serikat hingga penelitian dari Kementrian Lingkungan Hidup sendiri pada akhiranya menyatakan bahwa kondisi kesehatan lingkungan Jakarta telah mencapai tingkat yang paling buruk.

Pada jam tertentu, udara pada wilayah Cibubur misalnya, memiliki kandungan polutam empat kali lipat dari batas aman. Dengan berlanjutnya kondisi ini, Jakarta menjadi tidak aman untuk orang-orang yang rawan atau sensitif terjangkit pemyakit pernafasan. Polutan yang terkandung dalam udara Jakarta dapat menyebabkan infeksi saluran napas hingga penyakit kanker.

bagi sebagaian sarja lingkungan, hal ini tentu tidak menjadi sesuatu yang mengejutkan. Terputusnya segala macam kegiatan di Jakarta menjadikan wilayah ini sebagai wilayah penghasil dan penerima polutan dalam segala aspeknya.

Belakangan ini, tidak ada lagi sungai Jakarta yang memiliki status tak terkontaminasi polutan. Lebih-lebih, masalah sampah dan pengelolannya juga tidak kunjung menemukan solusi yang benar-benar berguna. Kenyataan ini sesungguhnya lebih tidak mengejutkan bagi para sejarawan. Sejarawan yang berfokus pada sejakar Jakarta atau sejarah perkotaan tidak akan  meluapkan perencanaan awal kota ini pada masa VOC. Jatuhnya tingkat kesehatan kota ini dapat dikatakan telah diramalkan sejak pendiriannya.

Kota modern pertama yang menempati wilayah Jakarta adalah nBatavia. Kita ini direbut dan didirikan satu dekade setelah kedatangan kongsi dagang Belanda ke Nusantara. Pada 1619, Batavia dibangun di atas reruntuhan kota tradisional Jayakarta. Pada permulaannya, wilayah asli Batavia dan kanal di sekitarnya yang kini menjadi wilayah Kota Tua. Gubernur Jenderal  Jan P. Coen dikenal sebagai "pendiri" kota dan orang yang menempatkan nama Batavia.

Namun, sesungguhnya nama yang pada mulanya diajukan oleh Coen adalah Nieuw-Hoorn yang mengingatkannya pada wolayah Hoorn tempat kelahirannya. Pengajuan ini ditolak oleh tuan-tuan pemilik VOC di Negeri Belanda yang kemudian lebih memilih nama Batavia.

Pada permualaan pendirinya, Wilayah Batavia dan sekitarnya dirancang untuk menampung tidak lebih dari sepuluh ribu orang. Oleh karena itu, VOC memberlakukan sistem kartu masuk dan izin tinggal bagi orang-orang yang berkepntingan di Batavia.

Hanya dengan cara ini Batavia dapat tetap menjaga kesehatan dan ketersediaan air bersihnya. Ketika penduduk Batavia telah miskin berkembang, VOC memikirkan kembali cara untuk tetap menampung penduduk dan kegiataan di dalamnya.

Hal ini menyebabkan pemukiman penduduk dilebarkan ke wilayah Weltervreden, sebelah selaran dari kota Batavia yang kini menjadi wilayah Gambir. Gabungan dari wilayah-wilayah tadi yang kini membentuk Jakarta Utara, Jakrta Barat, dan jakarta Pusat di rencanakan untuk menampung penduduk yang berjumlah maksimal dua ratus ribu. Namun demikian, pada masa kini jumlahnya mencapai lebih dari sepuluh juta jiwa.

Kehancuran tingkat kesehatan lingkungan di kota ini akibat meledaknya jumlah penduduk telah terjadi pada tahun 1733. Selama lebih seratus tahun pertama, Batavia masih dikenal sebagai surga dari timur karena keindahannya yang memukau bangsa Eropa.

Namun, setelah tahun 1733, Batavia sangat terkenal dengan kondisinya yang tidak sehat. Wilayah kota lama Batavia yang semula hanya dapat menampung tidak lebih dari sepuluh ribu orang telah dihuni sekitar lima belas atau dua puluh ribu orang. Permasalahan utama yang kemudian timbul adalah ketersediaan air bersih. Lebih lagi, permasalahan limbah juga menyebabkan kita ini menjadi sarang nyamuk. Kanal-kanal tidak lagi berfungsi secara optimal sehingga genangan air terdapat di mana-mana.

Pada tahun 1733 itu, Batavia mendapatkan julukan sebagai kota paling tidak sehat di dunia. Tidak jauh berbeda dengan Jakarta masa sekarang. Permasalahan utama yang dicatat oleh VOC adalah kelebihan penduduk. Kelebihan penduduk menyebabkan berbagai permasalahan lanjutan yang sangat sulit diatasi tanpa perubahan jumlah penduduk.

Menurut beberapa sejarawan lingkungan, tingkat kematian di Batavia menjadi sangat tinggi karena nyamuk. Batavia abad kedelapan belas dikenal sebagai sarang demam. Hal ini banyak dibuktikan dengan catatan kematian anggota VOC dan batu nisan yang diteliti kemudian.

Namun demikian, banyak pula sejawaran yang tidak sependapat dengan hal ini mengingat kemajuan ilmu pengobatan masa itu. Jelasnya, sekalipun sejarawan banyak berdebat mengenai penyebab langsung kematian di Batavia, mereka semua setuju bahwa Batavia menjadi sangat tidak sehat karena kelebihan penduduk.

Dengan demikian, kejatuhan tingkat kesehatan lingkungan ini sesungguhnya telah menjadi diskursus lebih dari tiga ratus tahun. Pemerintah Hindia Belanda pada kemudian hari tidak lagi memusatkan kegiatan pemerintahan mereka di Batavia. Pada permulaan abda kedua puluh, pemerintahan seringkali dijalankan dari Bogor atau Bandung. Gubernur Jenderal sendiri bergerak secara mobil dan tidak berdiam di Batavia.

Kini, bangsa Indonesia tampaknya justru mengulang kesalahan VOC tahun 1733 denga tidak membuka catatan sejarah. VOC dan pemerintah Hindia Belanda pada kemudian hari telah memberikan indikasi yang kuat pada arsip-arsip mereka bahwa Batavia yang kini menjadi Jakarta bukan merupakan bukan merupakan kita yang "kuat" menampung kelebihan penduduk.

Jan P. Coen telah mencatat bahwa alasan utama kota ini sudah untuk dikendalikan adalah masalah air dengan seringnnya banjir. Dengan demikian, baik masalah banjir, maupun masalah lain Jakarta sesungguhnya dapat ditelusuri sejak lebih dari tiga ratus tahun yang lalu.

Daftar Sumber


  • Blacburn, Susan. 2011. Jakarta: Sejarah 400 Tahun. Depok: Komunitas Bambu.
  • Kanumoyoso, Bondan.2011. "Beyond the City Wall: Society and Economic Development in the Ommelanden of Batavia, 1684-1740". Leiden: Departemen of History, Lieden University.
  • Niemwijer, Hendrik E. 2012. Batavia: Masyrakat Kolonial Abad XVII. Jakarta: Masup Jakarta.
  • Peter Boomgrad. 1993. "The Development of Colonial of Health Care in Java: An Exploraratory Indtroduction" dalam Bijdragen Tot De Taal-, Land- En Volkenkunde. Vol. 149, No.1, 1993.
  • Van der Brug, P.H. 1994. Malaria en Malaise: De VOC in Batavia in de Achttiende Eeuw. Amsterdam.
  • Vlekke, B.H.M. 2016. Nuasantara: Sejarrah Indonesia. Jakarta: LPG.
Penulis

C. Reinhart adalah asisten peneliti pada Departemen Sejakarah Universitas Indonesia dengan fokus pada sejarah Kuno dan Sejaran Kolonial.

SHARE :
CB Blogger

Posting Komentar

 
Copyright © 2014 Kabar Berita Rakyat Indonesia (KBRI). All Rights Reserved. Powered by Blogger
Template by Creating Website and CB Blogger